Rapat Koordinasi dengan PMU

Rapat Koordinasi NMC dengan Project Manajemen Unit (PMU) membahas terkait dengan pelaksanaan kegiatan yang sudah berlangsung. Dalam hal ini NMC sebagai pihak konsultan memaparkan progres kegiatan yang sudah dicapai.

Workshop Pembekalan Teknis

Workshop Pembekalan Teknis Penyusunan NUSP dan RKM yang diselanggarakan di Hotel Aston, Bogor tanggal 10-12 September 2015 dengan peserta dari Wilayah Barat, Wilayah Tengah dan Wilayah Timur. Tampak TA Monev NMC sedang memberikan arahan terkait dengan penyusunan NUAP dan RKM.

Kick Of Meeting

Kick Of Meeting adalah awal dari pelaksanaan program NUSP-2 yang dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 2015 di Kementerian PU Lt. 6, Jl. Patimura. Dalam pertemuan tersebut dibahas terkait dengan strategi pelaksanaan NUSP-2. Pertemuan tersebut di hadiri oleh masing-masing Team Leader wilayah barat, tengah dan wilayah timur.

Wajah Permukiman Kumuh di Kota Bengkulu

Kawasan Kumuh salah satu di Kelurahan Belakang Pondok RW.01, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu memiliki tingkat keteratuan bangunan kurang dari 35% dan tingkat kepadatan bangunan 80-100 unit/ha, serta kondisi fisik bangunannya lebih dari 60% bangunan permanen.

Wajah Permukiman Kumuh di Kota Pekalongan

Kawasan Kumuh salah satu di Kelurahan Pabean, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan memiliki tingkat keteratuan bangunan kurang dari 65% dan tingkat kepadatan bangunan 100 unit/ha, serta kondisi fisik bangunannya lebih dari 60% bangunan semi permanen.

Kamis, 07 Januari 2016


A. PERMASALAHAN PERMUKIMAN KUMUH DAN KEBUTUHAN PENANGANANNYA

 

Berbagai program telah dijalankan oleh Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga maupun lembaga sosial lainnya tetapi pada kenyataannya masalah permukiman kumuh tidak kunjung terselesaikan. Data dalam RPJMN 2010-2014 mencatat adanya peningkatan luasan permukiman kumuh di Indonesia. Di samping permasalahan tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga menghadapi permasalahan lainnya antara lain:
-   Belum terdapatnya strategi penanganan dan pentahapan baik dalam tahapan kegiatan maupun kawasan penanganan pada program penanganan permukiman kumuh skala kota atau kawasan perkotaan.
-   Kebijakan untuk meningkatkan pembangunan kota kurang memperhatikan kebutuhan kawasan kumuh, karena pembangunan kota lebih berfokus pada upaya peningkatan pertumbuhan perekonomian daripada untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin.
-    Masalah keberpihakan pemerintah akan tertuang pada skema – skema penanganan, pendanaan, permasalahan sistemik terkait regulasi tidak hanya aspek fisik dan sosial.
-      Belum mencukupinya sarana dan prasarana permukiman Perkotaan.
-   Keterbatasan anggaran untuk melaksanakan penanganan di beberapa kota yang menyebabkan penanganan permukiman kumuh tidak terpadu dan berkesinambungan.
-  Perlunya penguatan kerjasama regional antara Pemerintah Kota dengan Pemerintah Kabupaten/Kota sekitarnya.
 -  Terdapat ketidaksinkronan antar instansi di daerah dalam menentukan kebijakan penanganan terutama penentuan lokasi dan bentuk penanganan yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya.
-   Masih belum terkoordinasinya penanganan pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman.

B. PEMAHAMAN, PENDEKATAN, DAN KEDUDUKAN PENYUSUNAN RKP KUMUH PERKOTAAN

1. Pengertian RKP Kumuh Perkotaan

Apa itu RKP Kumuh Perkotaan?
RKP Kumuh Perkotaan merupakan dokumen rencana aksi penanganan permukiman kumuh kota yang disusun oleh Pokjanis Kabupaten/Kota yang berisi rumusan strategi untuk mewujudkan permukiman yang bebas kumuh, serta kebutuhan program dan investasi penanganan permukiman kumuh. Dalam mewujudkan permukiman yang bebas kumuh dokumen rencana aksi tersebut mencakup pula rencana pengembangan lingkungan hunian yang layak dan terjangkau bagi penduduk di perkotaan untuk jangka waktu 5 tahun ke depan atau hingga tercapainya target kota tanpa kumuh hingga tahun 2019.
RKP Kumuh Perkotaan merupakan dokumen perencanaan kegiatan penanganan dengan lingkup/skala kawasan pada permukiman kumuh kawasan perkotaan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan terpadu, tidak hanya berupa rencana kegiatan penanganan bersifat fisik namun mencakup juga kegiatan-kegiatan yang bersifat non-fisik (peningkatan kapasitas/pemberdayaan, sosial dan ekonomi).
Rencana aksi penanganan permukiman kumuh kota terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu : (i) strategi peningkatan kualitas perumahan dan permukiman melalui kegiatan pemugaran, peremajaan kawasan permukiman kumuh dan/atau pemukiman kembali; dan (ii) strategi pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya kawasan permukiman kumuh baru, melalui pemberdayaan, pengawasan dan pengendalian.
Perumusan 2 (dua) strategi tersebut di atas harus mempertimbangkan permasalahan ketidakteraturan bangunan, kepadatan bangunan, kualitas bangunan, serta sarana dan prasarana (jalan lingkungan, drainase, sanitasi dan air minum).

Mengapa Diperlukan RKP Kumuh Perkotaan?
RKP Kumuh Perkotaan diperlukan agar Pemerintah Daerah mampu menyusun dokumen perencanaan yang komprehensif sebagai acuan dalam pencapaian penanganan permukiman yang bebas kumuh. Dengan adanya Dokumen RKP Kumuh Perkotaan dapat diciptakan keterpaduan program dan pembiayaan berbagai pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya.
RKP Kumuh Perkotaan diperlukan sebagai acuan dalam pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh dengan mengintegrasikan skala lingkungan sampai dengan skala kawasan dan kawasan perkotaan. Sedangkan untuk pengelolaan sarana dan prasarana yang terbangun dengan memampukan dan menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk memelihara dan menjaga lingkungan huniannya.

2. Pendekatan RKP Kumuh Perkotaan

Dalam penyusunan RKP Kumuh Perkotaan memuat 4 (empat) pendekatan, yaitu
§  Perencanaan komprehensif
§  Pembangunan terintegrasi
§  Keterpadauan program
§  Keberlanjutan

Pendekatan perencanaan yang komprehensif dalam penyusunan RKP Kumuh Perkotaan adalah melakukan perencanaan penanganan permukiman kumuh secara menyeluruh meliputi aspek sosial, ekonomi, fisik lingkungan.
Pendekatan pembangunan yang terintegrasi dalam penyusunan RKP Kumuh Perkotaan  adalah melakukan perencanaan pembangunan tersistem dari skala lingkungan, kawasan dan kota.
Pendekatan keterpaduan program dalam penyusunan RKP Kumuh Perkotaan adalah melakukan penyusunan rencana investasi pembangunan yang melibatkan semua sumber pembiayaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan swasta.
Pendekatan keberlanjutan dalam penyusunan RKP Kumuh Perkotaan adalah melakukan penyusunan rencana pengelolaan paskapembangunan dengan memastikan fungsi dan kualitas lingkungan untuk kepentingan kualitas hidup masyarakat yang bermukim.

Kebijakan Dan Strategi Nasional Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh



Kebijakan : 
  1. Mewujudkan proses transformasi kapasitas kepada masyarakat melalui pembelajaran dan pelatihan secara langsung di lapangan 
  2. Mendorong akses bantuan kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh 
  3. Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok masyarakat di bidang perumahan dan permukiman 
  4. Meningkatkan kesadaran hukum bagi para aparat Pemerintah/Pemerintah Daerah dan Masyarakat 
  5. Memberdayakan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat 
  6. Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum dan ekonomi lingkungan permukiman

Strategi :
  1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh 
  2. Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha 
  3. Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman kumuh 
  4. Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh 
  5. Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial 
  6. Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman

Sasaran :
  1. Terciptanya peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat setempat yang mampu menata lingkungan perumahan mereka 
  2. Terciptanya pertumbuhan usaha ekomomi produktif dan keswadayaan masyarakat dalam mengembangkan lingkungan permukiman. 
  3. Terbangunnya perumahan dan permukiman yang layak huni  
  4. Terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh 
  5. Tertatanya lingkungan permukiman kumuh menjadi lingkungan yang sehat, indah, aman dan nyaman  
  6. Tercapainya peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan masyarakat

Peran Pemerintah Daerah dalam Penanganan Permukiman Kumuh


Hal yang sering muncul dalam  permasalahan penanganan permukiman kumuh adalah masih lemahnya kapasitas Pemerintah Daerah padahal diakui bahwa peran Pemerintah Daerah memegang peranan penting agar permukiman kumuh dapat meningkat kualitas kehidupan masyarakatnya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersinergi agar penanganan permukiman kumuh dapat menjadi prioritas. Hal ini disebabkan  kondisi pemerintah daerah pada saat ini masih dirasakan terbatas kapasitasnya untuk mengimplementasikan penanganan permukiman kumuh sehingga peran Pemerintah Pusat masih sangat diperlukan.

Permukiman kumuh timbul di perkotaan karena Pemerintah tidak memiliki kebijakan perumahan, peraturan perundangan dan sistem penyediaan yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah akibatnya Pemerintah Daerah harus dapat memiliki inisiatif sendiri untuk menangani permukiman kumuh. Masalahnya adalah sangat sedikit Pemerintah Daerah yang mampu dan berkeinginan untuk meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh. Berbagai pelajaran dari praktik di lapangan di beberapa kota memperlihatkan bahwa diperlukan suatu ‘political will’ agar permasalahan ini dapat tertangani. Bentuk ‘political will’ yang dibutuhkan adalah yang memiliki landasan yang kuat, berjalan dalam jangka panjang sehingga dapat berkelanjutan serta berskala besar (city-wide approach). Namun ‘political will’ juga harus disertai dengan ‘local ownership’ dan kepemimpinan atau adanya ‘champion’ di wilayah tersebut serta harus didukung dengan mobilisasi potensi dan kapasitas dari seluruh pemangku kepentingan yang ada termasuk masyarakat di lingkungan tersebut. Keberhasilan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa ‘political will’ yang terpelihara dan komitmen yang kuat akan mendukung keberhasilan penanganan permukiman kumuh.

Dalam era desentralisasi, perumahan telah diserahkan urusannya kepada pemerintah daerah. Berkenaan dengan hal tersebut maka kebijakan yang terkait dengan perumahan harus dibenahi agar pemerintah daerah dapat meningkatkan kapasitasnya untuk  dapat menjadikan perumahan sebagai sasaran prioritas.  Untuk itu diperlukan kebijakan nasional yang dapat mengarahkan pemerintah daerah untuk mengembangkan kapasitasnya agar memiliki dinas/lembaga yang menangani permukiman kumuh secara efektif. Kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat agar mampu  menjalankan kewajibannya dalam hal penyediaan infrastruktur dan pelayanan yang berimbang bagi seluruh masyarakat. Tindakan-tindakan untuk memfasilitasi dan memperkuat kapasitas pemerintah daerah sangat diperlukan sehingga dapat meningkatkan akses pada informasi dan panduan dalam berbagai aspek untuk menangani permukiman kumuh. Selain itu juga diperlukan peningkatan tata kelola pemerintahan dan manajemen kota-kota di setiap level yang berujung pada pemerintah daerah yang lebih responsif  terhadap isu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau yang tinggal di permukiman kumuh

Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Nomor 1 tahun 2011) isinya antara lain mendesak “pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menyediakan anggaran dalam APBN maupun APBD yang cukup besar untuk program pembangunan perumahan bagi masyarakat”. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah berdasarkan UU tersebut harus sudah mulai merencanakan dan menganggarkan di dalam APBD nya untuk pembangunan perumahan dan termasuk di dalamnya adalah penanganan permukiman kumuh sebagai bagian dari program perumahan di daerahnya. Namun penyerahan tanggung jawab perumahan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan pembahasan lebih jauh tentang seberapa besar kewenangan atas mobilisasi sumber daya boleh dilakukan.

Di dalam implementasinya, penanganan permukiman kumuh membutuhkan peran serta dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang, swasta, masyarakat dan LSM serta organisasi lainnya termasuk perguruan tinggi. Partisipasi masyarakat mulai dari konsepsi, pembangunan, pembiayaan, peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur serta pelayanan diperlukan agar penanganan permukiman kumuh dapat berkelanjutan. Pembentukan kemitraan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, NGO dan pihak swasta, dan organisasi masyarakat (CBO) adalah mutlak diperlukan agar penanganan permukiman kumuh dapat berhasil karena merupakan upaya bersama sehingga dapat menciptakan rasa kepemilikan (local ownership).

Dengan demikian maka peran pemerintah daerah dalam penanganan permukiman kumuh membutuhkan peningkatan kapasitas, sumber daya manusia dan keuangan, pembentukan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, didukung oleh kebijakan dari Pemerintah Pusat yang mendorong penanganan permukiman kumuh menjadi prioritas bagi Pemerintah Daerah. Selain itu ada salah satu kunci keberhasilan yang tidak kalah penting yaitu ‘political will’ dari Pemerintah Daerah, hal ini yang menjadi tantangan untuk dapat menciptakan hal tersebut, apakah dapat melalui edukasi dan advokasi kepada para Kepala Daerah bahwa prioritas penanganan kumuh akan mengangkat elektabilitasnya pada saat pemilihan kepala daerah.(By : Frieda Fidia)

Tinjauan Penanganan Kumuh terkait Kebijakan/Program di Indonesia


Pada bagian ini, dijelaskan secara singkat rangkuman mengenai evolusi kebijakan perumahan di Indonesia terkait dengan isu perumahan informal. Lini masa dari kebijakan atau program dimulai dari periode setelah kemerdekaan (1945-1969) yang tentu saja dikenal sebagai Rezim Orde Lama, kemudian dilanjutkan dengan Rezim Orde Baru (1969-1998) termasuk: Repelita I (1969-1974), Repelita II (1974-1979), Repelita III (1979-1984), Repelita IV (1984-1989), Repelita V (1989-1994), Repelita VI (1994-1999) dan Era Reformasi (1998-sekarang).

Walaupun Indonesia kekurangan kebijakan penanganan permukiman informal yang jelas dan menyeluruh, perumahan dan perencanaan infrastruktur kota menjadi sektor yang lebih penting pada perencanaan pengembangan di Indonesia. Kebijakan perumahan menjadi lebih jelas dalam rencana pengembangan nasional sejak Repelita I. Isu-isu dari kumuh kota dan permukiman informal  adalah bagian integral dari kebijakan dan program perumahan. Kebijakan permukiman informal berkembang melalui berbagai program yang telah diimplementasikan di tingkat kota dan nasional.

Merujuk pada Repelita I, Pemerintah Pusat menyediakan perumahan dan pelayanan dasar secepat mungkin untuk komunitas yang membutuhkan melalui proyek pembiayaan Pemerintah Pusat secara sektoral[1]. Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam Kementerian Pekerjaan Umum[2] mengurusi subsektor seperti penyediaan air, drainase, sanitasi, pengumpulan sampah, dan perumahan rakyat.

Inisiatif perbaikan kumuh diperkenalkan melalui Kampung Improvement Program (KIP) di Jakarta sejak 1969. Pak Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta, memulai model dengan biaya yang lebih rendah untuk penduduk desa perkotaan berpenghasilan rendah yang dikenal sebagai kampung. KIP adalah versi yang disempurnakan dari skema kolonial Belanda yang diperkenalkan pada tahun 1920 untuk menyediakan infrastruktur dasar pada level mikro untuk kelurahan (kampung).

Selama periode 1974-1984 (Repelita II dan III), Pemerintah Pusat mulai memperluas pendekatan pada pengembangan infrastruktur kota untuk menjadi sistem skala kota. Beberapa proyek percontohan dimulai untuk memperluas pendekatan terpadu pada seluruh area perkotaan (proyek perkotaan).

Pada pertengahan 1980-an, Pemerintah Indonesia memperluas pendekatan proyek perkotaan menjadi program nasional dan lebih terdesentralisasi untuk penyediaan infrastruktur yang dikenal sebagai Proyek Infrastruktur Pembangunan Perkotaan Terpadu (IUIDP). KIP juga terintegrasi dengan IUIDP di beberapa kota. IUIDP menarik sebagian besar dukungan sektor perkotaan dan tempat tinggal bagi lebih dari 15 tahun yaitu dari 1985-2003. Dalam periode ini, KIP ​​III dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan Tribina termasuk pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan perumahan di Indonesia telah mengalami kemajuan substansial setelah pembentukan Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 1982. Kementerian ini bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan dan koordinasi, pelaksanaan program dan pengawasan. Beberapa kebijakan perumahan diberlakukan oleh Kementerian untuk mendukung pengembangan penanganan perumahan dan permukiman informal. Dua di antaranya adalah kebijakan utama yang mengarahkan pembangunan perumahan di Indonesia seperti: Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1990 untuk mengatasi masalah permukiman informal di lahan pemerintah dan UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992, peningkatan kualitas permukiman meliputi komponen-komponen berikut: rehabilitasi atau restorasi, pembaharuan, pemeliharaan berkelanjutan dan manajemen.

Pada awal 1990-an, Kementerian Perumahan Rakyat bekerjasama dengan UNDP melaksanakan proyek percontohan pada Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK) di Jakarta dan Bandung[3]. P2BPK telah diadopsi sebagai pendekatan dalam proyek perbaikan permukiman kumuh dan dirumuskan melalui Keputusan Menteri Nomor 06/KPTS/1994 tentang bimbingan P2BPK.

Indonesia menghadapi transisi besar di sektor perumahan terkait dengan krisis keuangan tahun 1997 dan transisi politik yang saat itu berlangsung. Transisi membutuhkan perubahan dramatis dalam institusi perumahan. Selama periode 1999-2004, Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah didirikan untuk menggantikan Kementerian Perumahan Rakyat dan Departemen Pekerjaan Umum. Beberapa kebijakan perumahan yang ditetapkan oleh Kementerian terkait dengan pembentukan Dewan Kebijakan dan Pengawasan Perumahan dan Permukiman Nasional di bawah Keppres No. 63 Tahun 2000 dan Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP). Yang terakhir digunakan sebagai pedoman kebijakan untuk pembangunan perumahan.

Dalam periode ini, ada beberapa proyek yang didanai oleh donor internasional dalam kaitannya dengan daerah kumuh perkotaan dan permukiman informal seperti: Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (UPP) yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dilaksanakan pada tahun 1998, Pembangunan Perumahan dan Daerah Berbasis Inisiatif Masyarakat (Co -BILD) yang didukung oleh UNDP pada tahun 2000 dan Proyek Peningkatan Lingkungan dan Sektor Permukiman (NUSSP) yang didanai oleh ADB yang dilaksanakan selama 2004-2009. Kemudian UPP berubah menjadi PNPM Perkotaan sebagai bagian dari program unggulan nasional dalam hal pengentasan kemiskinan.

Selain itu, krisis juga menyebabkan reformasi politik yang mengakibatkan desentralisasi administrasi fungsi pemerintah dan otoritas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah pada tahun 1999 termasuk perumahan. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab bagi penyediaan perumahan bagi warganya. Bertepatan dengan proses desentralisasi pada akhir 1990-an, KIP ​​ diambil alih oleh pemerintah daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dan situasi setempat. Ketika Presiden Yudhoyono memulai masa jabatannya pada tahun 2004, Kementerian Perumahan Rakyat diciptakan kembali dalam kabinetnya. Kementerian ini mengembangkan kebijakan khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah berkaitan dengan pembiayaan perumahan dan penyediaan infrastruktur lingkungan. Beberapa program telah dirancang untuk memberikan dukungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah seperti: Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya (BSP2S) dan Peningkatan Kualitas Permukiman (PKP).

Pada tahun 2011, UU No 1 dari 2011 tentang Area Perumahan dan Permukiman telah ditetapkan untuk menggantikan undang-undang perumahan sebelumnya. Undang-undang yang baru memberikan dasar hukum yang potensial untuk memajukan pengembangan perumahan berpenghasilan rendah. Kawasan permukiman kumuh disebutkan pada bagian pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh. Kementerian Perumahan Rakyat kini sedang mempersiapkan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-undang sebagai kebijakan operasional untuk pembangunan perumahan di Indonesia.

Tanah adalah sumber daya yang menjadi kunci dalam pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman. Untuk menangani masalah pertanahan pada proyek pembangunan infrastruktur, Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini memperkenalkan perubahan yang signifikan terhadap praktik pembelian lahan. Perubahan ini akan mempercepat dan menyederhanakan proses akuisisi dan harus berdampak pada infrastruktur lingkungan kumuh dan proyek-proyek perbaikan permukiman kumuh.

Kesimpulannya, kebijakan perumahan berkaitan dengan mengatasi masalah permukiman informal belum pernah dilakukan di Indonesia. Kebijakan berkembang melalui pendekatan program dan proyek yang dikembangkan oleh negara, pemerintah kota dan donor proyek internasional lainnya. Kebijakan perumahan yang ada sebagian dikembangkan oleh masing-masing kementerian untuk mendukung program mereka sendiri. Tidak ada kebijakan yang jelas dan komprehensif tentang permukiman informal sebagai pedoman untuk perbaikan kumuh perkotaan dan permukiman informal. (By : Wahyu Mulyana)

Grand Design Penanganan Permukiman Kumuh-2020



Dalam rangka mendorong segera tercapainya kesejahteraan rakyat di bidang papan, pemerintah berupaya melakukan akselerasi pemenuhan dan peningkatan kualitas perumahan dan kawasan permukiman melalui agenda pembangunan “Indonesia Bebas Kumuh 2020”. Suatu hal yang patut kita dukung, mengingat semakin meluasnya kawasan lingkungan kumuh sampai saat ini dan semakin bertambahnya selisih angka kebutuhan akan papan dan kemampuan pemenuhannya.

Di satu sisi, kita berharap hal ini akan bisa tercapai, tetapi di sisi yang lain kita juga mengkhawatirkan akan resiko tidak tercapainya target tersebut. Hal ini mengingat peran dan kapasitas para pemangku kewajiban sampai ini masih sangat lemah dalam pemenuhan kesejahteraaan rakyat bidang papan yang ditunjukkan dengan capaian kinerjanya yang masih belum begitu kuat.

Untuk itu, diperlukan upaya dalam bentuk ‘katalisator atau trigger ‘ yang mampu mendorong capaian kinerja tersebut. Hal ini tidak cukup hanya dengan mendeklarasikan agenda/program tetapi harus didukung dengan “political will” serta tata kelola yang baik.Terkait dengan isu penanganan kawasan kumuh, sangat tidak pantas dan sangat tidak layak apabila kita masih mendiskusikan dan berdebat tentang “siapa yang bersalah/bertanggung jawab dan argumen-argumen pembenaran/pembelaannya” yang tidak pernah menemukan jalan keluar ( “ Who wrong Who right” ). Ataupun mendiskusikan tentang “kumuh itu apa, bagaimana proses terjadinya” yang sudah puluhan tahun kita diskusikan dalam berbagai forum yang berujung hanya pada manfaat/ fungsi pemahaman secara normatif (“What and Why”). Yang dibutuhkan saat ini adalah mendiskusikan kekumuhan dalam konteks “How to” terhadap penanganannya atau sebagai “fungsi instrumental”.Dalam memulai proses pemetaan isu dan tantangannya, kita perlu melihat secara sekilas beberapa “lesson learned” upaya penanganan yang sudah pernah dilakukan sampai saat ini. Capaian kinerja penanganan kawasan kumuh belum begitu efektif yang ditunjukkan dengan semakin meluasnya kawasan kumuh. Beberapa pendekatan yang dipakai selama ini masih menggunakan “negative input variable” sebagai basis penanganannya (kumuh dipandang sebagai ‘current well-being’ bukan ‘future well-becoming’) sehingga kumuh hanya dipahami sebagai ‘shelter’ yang tidak layak huni. Padahal pemahaman fenomena kekumuhan harus didasari dengan pendekatan yang berbasis pada ‘outcome variable’ yang melihat kumuh dengan kacamata “beyond shelter” dan dipandang dari sisi ‘future well-becoming’ sehingga bisa dipetakan potensi dan strateginya (‘coping with livelihoods struggle’).

Selain itu, masih jarang program pengananan kawasan kumuh yang di “integrasi”kan dengan sistem mata rantai perekomian perkotaan (“urban economic chains”) dalam bentuk kemitraan pelaku usaha, pemangku kewajiban penanganan kawasan kumuh dan masyarakat dalam bentuk misalnya kawasan “cityblock” terpadu ( pembangunan sarana dan prasarana komersial, transportasi dan hunian).

Tantangan lain yang harus kita cermati adalah dalam hal tata kelolanya. Akibat lemahnya koordinasi dan ketidak jelasan pembagian peran para pemangku kewajiban sering mengakibatkan kesulitan pelaksanaan implementasi kebijakannya.

Sebagai isu dan tantangan terakhir yang sangat perlu kita perhatikan adalah keberpihakan atau pemilihan prioritas kebijakan di bidang papan yang sampai saat ini belum begitu kuat terutama di pemerintah daerah. Padahal pemerintah daerah sebagai ujung tombak keberhasilan capaian kinerja dan pengemban amanah “wajib” untuk pembangunan sektor papan yang semestinya harus memposisikan perumahan sebagai salah satu urusan wajib yang diprioritaskan.

PARADIGMA BARU DAN AKSELERASI PENANGANAN

Dengan mencermati beberapa ‘lesson learned’ yang menggambarkan ke ‘tidak tepat’an sasaran penghuni rumah susun dan juga lambannya penyerapan kebijakan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) mengindikasikan akan perlunya ketepatan pembacaan target/sasaran dan proses implementasinya.

Cara memahami kekumuhan yang hanya berdasarkan pada permasalahan fisik spasial (“spatial problem-based”) semata hanya akan mampu memposisikan kumuh sebagai “current well-being” yang memandang kumuh sebagai sesuatu yang harus dipisahkan dari sistem penataan ruang yang direncanakan. Perspektif pemahaman kumuh yang memposisikannya sebagai “future well-becoming” akan mampu menggali status/kondisi dan potensinya sebagai dasar penentuan kriteria dan indikator program intervensinya. Untuk itu diperlukan paradigma baru yang bergeser dari pendekatan yang berbasis fisik-spasial ke pendekatan yang menggunakan basis pemenuhan kesejahteraan rakyat dalam bidang pemenuhan hak atas papan.

Selain itu, pada tataran tata kelola, orientasi pelaksanaan/implementasi yang selama ini lebih banyak berorientasi pada “rule-based” harus dipadukan dengan pendekatan yang berorientasi pada “outcome-based”. Hal ini akan menjawab pemecahan masalah yang sering terjadi yaitu ketidaktepatan sasaran implementasi dan terlalu ‘rigid’ nya kebijakan sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara cerdas dan sering ‘menjadi bumerang’ pada pada pelaksanaannya.

Dengan melihat target tahun capaian yang sangat pendek yaitu tahun 2020 ( tinggal 7 tahun lagi) dan melihat sistem tata kelola dan kapasitas para pemangku kepentingan /pemangku kewajiban saat ini, maka perlu upaya perekayasaan “katalisator/trigger” yang mampu mengakselerasi agenda penanganan program Indonesia Bebas Kumuh 2020.

Secara singkat, dua kata kunci yang diusulkan untuk mendorong akselerasi penanganan kawasan kumuh adalah, yang pertama “paradigma baru” yang memposisikan hak warga dalam bermukim sebagai basis kebijakan penanganannya dan yang kedua adalah “peningkatan kapasitas (capacity building) para pemangku kewajiban” dalam pemenuhan hak tersebut. Kedua kata kunci tersebut merupakan langkah konsolidasi kebijakan yang menguatkan dan merestrukturisasi (strengthening dan restructuring) pola intervensi / program penanganan yang selama ini sudah dilakukan.


KEBIJAKAN BERBASIS HAK ( RIGHT-BASED POLICY)

Hak atas perumahan yang layak sudah diatur baik dalam skala nasional maupun internasional. Secara nasional, diatur dalam UUD 1945 ( pasal 28 H ayat 1) dan UU no.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Demikian pula, hak atas perumahan ini terdapat dalam Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi,Sosial dan Budaya. Pemahaman atas hak tersebut terkait dengan hak atas standard kesehatan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan (‘the right to a standard of living adequate for health and well-being’). Hak tersebut di Indonesia dipahami sebagai hak atas sandang, papan, pangan, kesehatan dan pendidikan yang secara umum sering diistilahkan sebagai hak dasar (‘basic right’).

Kebijakan nasional perumahan dan kawasan permukiman dilandasi oleh tiga dasar kewajiban negara yang meliputi : kewajiban menghormati (‘obligation to respect’), kewajiban melindungi (‘obligation to protect’) dan kewajiban memenuhi (‘obligation to fulfill’). Sehingga dibutuhkan kapasitas dan peran negara yang kuat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

Penanganan kawasan kumuh yang selama masih menggunakan pendekatan yang lebih mengedepankan aspek fisik spasial tidak akan mampu mendukung negara dalam melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas papan. Untuk itu upaya mengintegrasikan hak atas papan (‘housing right’) dengan tanggung jawab pemangku kewajiban (‘duty holders’) menjadi sangat penting dan kunci.

Kumuh sampai saat ini dianggap sebagai fenomena kondisi ‘current living space being’ yang diterjemahkan sebagai korban pasif pembangunan sehingga harus dipisahkan dalam sistem kehidupan keruangan. Aset penghidupan (‘livelihoods assets’) dalam kawasan kumuh sampai saat ini belum mampu dipetakan secara tepat dan belum pernah diupayakan untuk disinergikan dengan subsistem penataan ruang dan pembangunan infrastruktur perkotaan.

Beberapa konsep penataan yang berbasis kawasaan (‘area-based approaches’) maupun yang berskala kota (‘citywide approaches’) yang juga sudah memasukkan pendekatan ‘People,Profit and Planet’       Untuk itu perlu memampukan (‘enabling’) para pemangku kewajiban yaitu negara/ pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan lembaga kemanusiaan dalam upaya memenuhi hak atas papan tersebut.
(“ 3P “ ) atau Tri Bina/ Tri Daya ternyata belum mampu diimplementasikan secara efektif. Hal ini bisa dilihat dari capaian kinerja penanganan kawasan kumuh yang belum begitu kuat ( kawasan kumuh berkecenderungan semakin meluas ). Kecukupan sumberdaya perumahan belum tentu mampu memberikan jaminan atas hak untuk mengaksesnya ( ‘entitlement’ nya tidak terpenuhi).


STRATEGI IMPLEMENTASI DAN PETA JALAN

Kebijakan berbasis hak yang disinergikan dengan pendekatan konsolidasi keruangan  (‘spatial consolidation’) dengan metoda penguatan dan restrukturisasi (‘strengtened and restructured methods’) yang berskala ‘intra-consolidation’ (‘area-based’) maupun yang berskala ‘inter-consolidation’ (‘citywide approaches’) diharapkan mampu mempetakan dan menganalisis status/kondisi warga kawasan kumuh berbasis hak sebagai dasar penentuan variabel dan indikator kinerja kebijakan intervensinya dengan mengintegrasikannya kedalam sistem mata rantai ekonomi perkotaan (‘urban economic chains’) dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan.

Pemetaan secara cerdas harus dilakukan tidak hanya berorientasi pada pendekatan peraturan saja (‘rule-based approaches’) tetapi lebih mengutamakan pada pendekatan berbasis capaian kinerja (‘outcome-based approaches’) yang meliputi : pemetaan hak-hak yang harus dipenuhi dan penyediaan pelayanan pemenuhan hak-hak tersebut serta identifikasi apa yang harus dipenuhi oleh negara dan pemangku kewajiban yang lain. Hasil pemetaan ini tentunya hanya akan efektif dapat dirumuskan dan diimlementasikan dalam bentuk kebijakan apabila didukung oleh perangkat regulatif yang berwibawa, tata kelola yang profesional serta kontrol publik yang kuat.

Secara singkat dapat disampaikan usulan awal terhadap skema akselerasi penangan kawasan permukiman kumuh sebagai berikut :

1. Pembentukan “ Desk Khusus “ yang bertugas :
  • Mengkoordinasikan kebijakan lintas kementerian dan lembaga yang terkait dengan bidang / urusan perumahan.
  • Menyiapkan kerangka regulatif, kelembagaan dan penganggaran yang mendukung akselerasi implementasi kebijakan.
  • Menyiapkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis sebagai pedoman dan pemandu operasionalisasi di lapangan
  • Menyiapkan lokasi Pilot Project yang akan dijadikan sasaran penanganan sebagai langkah awal yang akan direplikasikan dan diperluas jangkauan dan skalanya pada tahap-tahap selanjutnya.
2. Pemetaan Sasaran Penerima Manfaat yang menganalisis data tentang :
  • Siapa menerima apa
  • Dalam kondisi apa
  • Kapan diberikan
  • Dalam bentuk apa (barang publik atau privat, bansos atau subsidi)
3. Penyiapan konsep akselerasi penanganan yang meliputi :
  • Perekayasaan teknis
  • Perekayasaan sosial ekonomis

Rabu, 06 Januari 2016

Latar Belakang


Perkembangan perumahan dan permukiman di perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan, baik karena faktor pertumbuhan penduduk kota maupun karena faktor urbanisasi. Seiring dengan pertumbuhan penduduk di perkotaan tersebut maka, kebutuhan akan penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman meningkat pula, baik melalui kegiatan peningkatan maupun pembangunan prasarana-sarana baru. Namun demikian pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman, baik dari segi perumahan maupun kawasan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana kawasan permukiman mulai mengalami penurunan yang pada gilirannya memberikan konstribusi terjadinya kawasan permukiman kumuh.

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki laju urbanisasi tertinggi di Asia telah dihadapkan pada permasalahan kawasan permukiman kumuh yang jumlahnya meningkat cukup besar. Berdasarkan data Susenas BPS, proporsi rumah tangga kumuh di perkotaan telah menurun sebesar 8,18% dari 20,75% pada tahun 1993 menjadi 12,57% pada tahun 2011. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa laju rata-rata penurunan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan sebesar 0,50% per tahun. Tanpa suatu terobosan yang berarti maka, upaya mewujudkan kota bebas kumuh pada tahun 2020 akan sulit dicapai.

Sehubungan hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum didukung oleh dana APBN, telah melaksanakan berbagai kegiatan penanganan permukiman kumuh, sebagai upaya mengatasi masalah perkotaan seperti menurunnya kemampuan dan daya dukung kawasan permukiman, menurunnya kualitas lingkungan permukiman,tingginya angka kemiskinan, dan kurang berkembangnya fungsí perkotaan.

Mengingat keterbatasan dana APBN dan dalam rangka mendukung upaya mewujudkan kota bebas kumuh pada tahun 2020, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum telah menyiapkan Neighborhood Upgrading and Shelter Project Phase-2 (NUSP-2) dengan menggunakan dana pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). Program NUSP-2 merupakan pengembangan dari Program NUSP-2 (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project) yang telah dilaksanakan pada tahun 2005 – 2010 di 32 Kota/Kabupaten.
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com