Dalam pemaknaan kalimat-kalimat tersebut jelas bahwa gender ditujukan untuk menggantikan perempuan. Guna menjelaskan kata gender, cara termudah adalah dengan mengerti terlebih dahulu apa perbedaan gender dan sex (jenis kelamin).
Sex atau jenis kelamin sifatnya
pemberian Yang Maha Kuasa dan bersifat biologis. Ada dua jenis kelamin yang
diakui sejauh ini, yakni laki-laki dan perempuan. Sedangkan, gender
adalah konstruksi sosial, muncul akibat jenis kelamin yang berubah dari waktu
ke waktu dan bisa saja berbeda di setiap lokasi.
Gender berhubungan dengan ekspetasi sosial
masyarakat sekitar yang mengondisikan sesuatu itu boleh atau tidak boleh,
pantas atau tidak pantas, etis atau tidak etis, dan senonoh atau tidak senonoh.
Pembagian peran gender ini kemudian melahirkan yang dinamakan identitas gender
(feminin dan maskulin), peran gender atau gender roles (domestik
dan publik), relasi gender atau gender relations (hubungan
interaksi antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh norma-norma dan
ekspetasi masyarakat), dan divisi pembagian kerja berdasarkan gender
atau gender division of labour (pembagian status sosial dan eknomi
pekerjaan berdasarkan status gender yang berbeda).Oleh karenanya, konsep gender
tidak bergantung pada jenis kelamin. Justru, bergantung pada kondisi sosial dan
adat budaya setempat.
Mengutip
pernyataan terkenal dari Simone de Beauvoir (1949) bahwa one is not born a
women but, rather, become one –bahwa gender adalah proses
pembentukan pada diri seseorang, yang dimulai dari kecil, dan terinternalisasi
ke dalam dirinya melalui hal-hal yang dilihatnya meliputi pembagian kerja orang
tua dan masyarakat, pembagian identitas gender, dan hubungan gender
yang mengkondisikan hubungan laki-laki dan perempuan di sekitarnya. Jadi jelas
bahwa gender itu menyangkut laki-laki dan perempuan dalam konteks
konstruksi sosial budaya dan ekonomi.
Lalu mengapa gender diasosiasikan dengan perempuan? Sebagai orang awam, sering kita mendengar bahwa program-program dan lembaga, banyak yang menitikberatkan kepada perempuan. Contoh, dalam pemerintahan ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program-program LSM pun banyak yang berfokus pada peningkatan kehidupan perempuan. Slogan-slogan berpusat pada perempuan.
Ada beberapa
alasan untuk itu. Pertama, apabila dikaji dengan menggunakan konsep
analisis gender, memang ketimpangan banyak terjadi pada perempuan. Yakni,
menyangkut akses yang minim terhadap sumber daya, partisipasi dalam kegiatan
perencanaan dan pengambilan keputusan Undang-undang yang masih netral gender,
sehingga melahirkan manfaat yang tidak merata terhadap perempuan dan laki-laki.
Ketidakadilan
gender banyak terjadi pada perempuan. Hal inilah yang kemudian
melahirkan banyak kegiatan dan intervensi untuk menaikkan taraf hidup perempuan
baik sebagai langkah affirmative action (aksi mendukung) maupun lebih
jauh lagi hingga pemberdayaan (empowerment).
Kedua, secara pendekatan konseptual dan
teori, gender memang pertama kali dikondisikan dengan pendekatan
terhadap perempuan, yakni melalui teori Women in Development (WID).
Pendekatan ini dimulai dari adanya tulisan dari Ester Boserup (1970) "Women's
Role in Economic Development"—melihat peran perempuan yang besar dalam
kegiatan agrikultur dan menyumbang pendapatan negara, tapi tidak dihargai
secara material. Laki-laki melakukan pekerjaan dengan bantuan mesin, sedangkan
perempuan tetap dengan manual, yang pada akhirnya melahirkan beban ganda dan
subordinasi.
Tulisannya
mendapat banyak sambutan hangat dari feminis Amerika di Washington dan langsung
mengadopsi pendekatan WID ke dalam seluruh pendekatan USAID ke seluruh dunia.
Hingga pada tahun 1975 - 1985 ditetapkan sebagai UN Decade for Women. Dalam
pelaksanaannya, WID banyak bertumpu pada program-program peningkatan ekonomi
khusus pada perempuan (women-only project) seperti mikrokredit,
peningkatan kapasitas dan pelatihan dan peningkatan akses perempuan ke kredit.
Pemberdayaan
Perempuan: Instrumentalis ataukah Transformasi Kekuasaan yang Sesungguhnya?
Hanya saja,
dalam perkembangannya, fokus WID yang terisolasi hanya pada perempuan menuai
kritikan, yang kemudian merubahnya menjadi Gender and Development (GAD).
Pertama, ketika hanya berfokus pada perempuan, maka transformasi power
tidak akan terjadi antara laki-laki dan perempuan, sehingga segala cara
yang dilakukan tidak mengatasi permasalahan struktural (enabling environment)
tetap menyebabkan posisi perempuan menjadi subordinan laki-laki.
Kedua, WID mencoba mengintegrasikan
perempuan ke dunia usaha dalam ranah publik, tetapi tidak mengatasi
permasalahan kesenjangan dalam ranah rumah tangga, sehingga malah melahirkan
beban ganda bagi perempuan.
Ketiga, WID tidak melihat heterogenitas
status sosial, ekonomi dan budaya antar sesama perempuan, dan menganggap
perempuan homogen. Padahal dalam banyak contoh kasus, keuntungan dan posisi
kepemimpinan hanya melibatkan perempuan elit, yang tidak otomatis membela
kepentingan perempuan miskin.
Pendekatan
GAD lahir dengan asumsi dasar bahwa sebetulnya akar permasalahan ada pada
struktur kekuasaan dan ketimpangan hubungan gender (unequal gender
relations) lah yang menghalangi pembangunan dan partisipasi perempuan.
Puncak dari era ini adalah lahirnya strategi Pengarusutamaan Gender pada
1995 melalui Beijing Conference. Pendekatan ini kemudian tidak hanya bertumpu
pada pendekatan ekonomi khusus pada perempuan sebagai welfare approach,
tapi hingga pemberdayaan sesungguhnya (empowerment). Karena, ternyata
pendekatan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak serta merta mendobrak
ketidakadilan gender yang dialami perempuan, selama struktur kekuasaan
(budaya, ekonomi, politik) tidak berubah.
Segala upaya
intervensi tidak melulu kepada peningkatan ekonomi, melainkan didukung oleh
perubahan paradigma dan transformasi kekuasaan laki-laki kepada perempuan,
termasuk meningkatkan peran perempuan dalam posisi pengambilan keputusan.
Strategi yang digunakan pun tidak melulu bertumpu pada perempuan, tapi sudah
mengakomodasi kebutuhan, pengalaman, aspirasi dan ketidakadilan yang dialami
laki-laki. Paradigma melihat laki-laki bukan lelaki sebagai masalah, tapi
sebagai mitra sejajar yang harus mulai dilibatkan dalam upaya-upaya mencapai
kesetaraan hubungan keduanya.
Di Indonesia
sendiri, kini hadir beberapa Aliansi dan gerakan pelibatan laki-laki untuk
mencapai kesetaraan gender. Namun tentunya perlu waktu dan proses yang
tidak cepat hingga sampai ke ranah paradigma kesetaraan gender dimana
tidak ada lagi pelabelan negatif dan pengkotak-kotakan peran yang berasal dari
pembakuan peran yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Peran
informasi dan advokasi saja tidak cukup untuk meningkatkan peran perempuan
dalam ranah publik. Namun, perubahan pada tataran struktural dan paradigma-lah
kunci utamanya. Itulah upaya sejati untuk menggapai kesetaraan dan keadilan gender.
Ketika hubungan antara laki-laki dan perempuan dan antara perempuan dan
perempuan sudah tidak lagi dibeda-bedakan, antara kaya miskin dan pembakuan
peran gender yang merugikan, niscaya itulah kesetaraan (equality)
dan keadilan (equity) yang sesungguhnya. [KMP 2]
0 komentar:
Posting Komentar