Dalam rangka mendorong segera tercapainya
kesejahteraan rakyat di bidang papan, pemerintah berupaya melakukan akselerasi
pemenuhan dan peningkatan kualitas perumahan dan kawasan permukiman melalui
agenda pembangunan “Indonesia Bebas Kumuh 2020”. Suatu hal yang patut kita
dukung, mengingat semakin meluasnya kawasan lingkungan kumuh sampai saat ini
dan semakin bertambahnya selisih angka kebutuhan akan papan dan kemampuan
pemenuhannya.
Di satu sisi, kita berharap hal ini akan bisa tercapai, tetapi di sisi yang lain kita juga mengkhawatirkan akan resiko tidak tercapainya target tersebut. Hal ini mengingat peran dan kapasitas para pemangku kewajiban sampai ini masih sangat lemah dalam pemenuhan kesejahteraaan rakyat bidang papan yang ditunjukkan dengan capaian kinerjanya yang masih belum begitu kuat.
Untuk itu, diperlukan upaya dalam bentuk ‘katalisator atau trigger ‘ yang mampu mendorong capaian kinerja tersebut. Hal ini tidak cukup hanya dengan mendeklarasikan agenda/program tetapi harus didukung dengan “political will” serta tata kelola yang baik.Terkait dengan isu penanganan kawasan kumuh, sangat tidak pantas dan sangat tidak layak apabila kita masih mendiskusikan dan berdebat tentang “siapa yang bersalah/bertanggung jawab dan argumen-argumen pembenaran/pembelaannya” yang tidak pernah menemukan jalan keluar ( “ Who wrong Who right” ). Ataupun mendiskusikan tentang “kumuh itu apa, bagaimana proses terjadinya” yang sudah puluhan tahun kita diskusikan dalam berbagai forum yang berujung hanya pada manfaat/ fungsi pemahaman secara normatif (“What and Why”). Yang dibutuhkan saat ini adalah mendiskusikan kekumuhan dalam konteks “How to” terhadap penanganannya atau sebagai “fungsi instrumental”.Dalam memulai proses pemetaan isu dan tantangannya, kita perlu melihat secara sekilas beberapa “lesson learned” upaya penanganan yang sudah pernah dilakukan sampai saat ini. Capaian kinerja penanganan kawasan kumuh belum begitu efektif yang ditunjukkan dengan semakin meluasnya kawasan kumuh. Beberapa pendekatan yang dipakai selama ini masih menggunakan “negative input variable” sebagai basis penanganannya (kumuh dipandang sebagai ‘current well-being’ bukan ‘future well-becoming’) sehingga kumuh hanya dipahami sebagai ‘shelter’ yang tidak layak huni. Padahal pemahaman fenomena kekumuhan harus didasari dengan pendekatan yang berbasis pada ‘outcome variable’ yang melihat kumuh dengan kacamata “beyond shelter” dan dipandang dari sisi ‘future well-becoming’ sehingga bisa dipetakan potensi dan strateginya (‘coping with livelihoods struggle’).
Selain itu, masih jarang
program pengananan kawasan kumuh yang di “integrasi”kan dengan sistem mata
rantai perekomian perkotaan (“urban economic chains”) dalam bentuk kemitraan
pelaku usaha, pemangku kewajiban penanganan kawasan kumuh dan masyarakat dalam
bentuk misalnya kawasan “cityblock” terpadu ( pembangunan sarana dan prasarana
komersial, transportasi dan hunian).
Tantangan lain yang harus kita cermati adalah dalam hal tata kelolanya. Akibat lemahnya koordinasi dan ketidak jelasan pembagian peran para pemangku kewajiban sering mengakibatkan kesulitan pelaksanaan implementasi kebijakannya.
Sebagai isu dan tantangan terakhir yang sangat perlu kita perhatikan adalah keberpihakan atau pemilihan prioritas kebijakan di bidang papan yang sampai saat ini belum begitu kuat terutama di pemerintah daerah. Padahal pemerintah daerah sebagai ujung tombak keberhasilan capaian kinerja dan pengemban amanah “wajib” untuk pembangunan sektor papan yang semestinya harus memposisikan perumahan sebagai salah satu urusan wajib yang diprioritaskan.
PARADIGMA
BARU DAN AKSELERASI PENANGANAN
Dengan mencermati beberapa ‘lesson learned’ yang
menggambarkan ke ‘tidak tepat’an sasaran penghuni rumah susun dan juga
lambannya penyerapan kebijakan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)
mengindikasikan akan perlunya ketepatan pembacaan target/sasaran dan proses
implementasinya.
Cara memahami kekumuhan yang hanya berdasarkan pada permasalahan fisik spasial (“spatial problem-based”) semata hanya akan mampu memposisikan kumuh sebagai “current well-being” yang memandang kumuh sebagai sesuatu yang harus dipisahkan dari sistem penataan ruang yang direncanakan. Perspektif pemahaman kumuh yang memposisikannya sebagai “future well-becoming” akan mampu menggali status/kondisi dan potensinya sebagai dasar penentuan kriteria dan indikator program intervensinya. Untuk itu diperlukan paradigma baru yang bergeser dari pendekatan yang berbasis fisik-spasial ke pendekatan yang menggunakan basis pemenuhan kesejahteraan rakyat dalam bidang pemenuhan hak atas papan.
Selain itu, pada tataran tata kelola, orientasi pelaksanaan/implementasi yang selama ini lebih banyak berorientasi pada “rule-based” harus dipadukan dengan pendekatan yang berorientasi pada “outcome-based”. Hal ini akan menjawab pemecahan masalah yang sering terjadi yaitu ketidaktepatan sasaran implementasi dan terlalu ‘rigid’ nya kebijakan sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara cerdas dan sering ‘menjadi bumerang’ pada pada pelaksanaannya.
Dengan melihat target tahun capaian yang sangat
pendek yaitu tahun 2020 ( tinggal 7 tahun lagi) dan melihat sistem tata kelola
dan kapasitas para pemangku kepentingan /pemangku kewajiban saat ini, maka
perlu upaya perekayasaan “katalisator/trigger” yang mampu mengakselerasi agenda
penanganan program Indonesia Bebas Kumuh 2020.
Secara singkat, dua kata kunci yang diusulkan untuk mendorong akselerasi penanganan kawasan kumuh adalah, yang pertama “paradigma baru” yang memposisikan hak warga dalam bermukim sebagai basis kebijakan penanganannya dan yang kedua adalah “peningkatan kapasitas (capacity building) para pemangku kewajiban” dalam pemenuhan hak tersebut. Kedua kata kunci tersebut merupakan langkah konsolidasi kebijakan yang menguatkan dan merestrukturisasi (strengthening dan restructuring) pola intervensi / program penanganan yang selama ini sudah dilakukan.
KEBIJAKAN BERBASIS HAK ( RIGHT-BASED POLICY)
Hak atas perumahan yang layak sudah diatur baik dalam skala nasional maupun internasional. Secara nasional, diatur dalam UUD 1945 ( pasal 28 H ayat 1) dan UU no.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Demikian pula, hak atas perumahan ini terdapat dalam Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi,Sosial dan Budaya. Pemahaman atas hak tersebut terkait dengan hak atas standard kesehatan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan (‘the right to a standard of living adequate for health and well-being’). Hak tersebut di Indonesia dipahami sebagai hak atas sandang, papan, pangan, kesehatan dan pendidikan yang secara umum sering diistilahkan sebagai hak dasar (‘basic right’).
Kebijakan nasional perumahan dan kawasan permukiman dilandasi oleh tiga dasar kewajiban negara yang meliputi : kewajiban menghormati (‘obligation to respect’), kewajiban melindungi (‘obligation to protect’) dan kewajiban memenuhi (‘obligation to fulfill’). Sehingga dibutuhkan kapasitas dan peran negara yang kuat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Penanganan kawasan kumuh yang selama masih menggunakan pendekatan yang lebih mengedepankan aspek fisik spasial tidak akan mampu mendukung negara dalam melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas papan. Untuk itu upaya mengintegrasikan hak atas papan (‘housing right’) dengan tanggung jawab pemangku kewajiban (‘duty holders’) menjadi sangat penting dan kunci.
Kumuh sampai saat ini dianggap sebagai fenomena kondisi ‘current living space being’ yang diterjemahkan sebagai korban pasif pembangunan sehingga harus dipisahkan dalam sistem kehidupan keruangan. Aset penghidupan (‘livelihoods assets’) dalam kawasan kumuh sampai saat ini belum mampu dipetakan secara tepat dan belum pernah diupayakan untuk disinergikan dengan subsistem penataan ruang dan pembangunan infrastruktur perkotaan.
Beberapa konsep penataan yang berbasis kawasaan (‘area-based approaches’)
maupun yang berskala kota (‘citywide approaches’) yang juga sudah memasukkan
pendekatan ‘People,Profit and Planet’ Untuk itu perlu
memampukan (‘enabling’) para pemangku kewajiban yaitu negara/ pemerintah,
masyarakat, dunia usaha dan lembaga kemanusiaan dalam upaya memenuhi hak atas
papan tersebut.
(“ 3P “ ) atau Tri Bina/ Tri Daya
ternyata belum mampu diimplementasikan secara efektif. Hal ini bisa dilihat
dari capaian kinerja penanganan kawasan kumuh yang belum begitu kuat ( kawasan
kumuh berkecenderungan semakin meluas ). Kecukupan sumberdaya perumahan belum
tentu mampu memberikan jaminan atas hak untuk mengaksesnya ( ‘entitlement’ nya
tidak terpenuhi).
STRATEGI IMPLEMENTASI DAN PETA JALAN
Kebijakan berbasis hak yang disinergikan dengan pendekatan konsolidasi keruangan (‘spatial consolidation’) dengan metoda penguatan dan restrukturisasi (‘strengtened and restructured methods’) yang berskala ‘intra-consolidation’ (‘area-based’) maupun yang berskala ‘inter-consolidation’ (‘citywide approaches’) diharapkan mampu mempetakan dan menganalisis status/kondisi warga kawasan kumuh berbasis hak sebagai dasar penentuan variabel dan indikator kinerja kebijakan intervensinya dengan mengintegrasikannya kedalam sistem mata rantai ekonomi perkotaan (‘urban economic chains’) dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan.
Pemetaan secara cerdas harus
dilakukan tidak hanya berorientasi pada pendekatan peraturan saja (‘rule-based
approaches’) tetapi lebih mengutamakan pada pendekatan berbasis capaian kinerja
(‘outcome-based approaches’) yang meliputi : pemetaan hak-hak yang harus
dipenuhi dan penyediaan pelayanan pemenuhan hak-hak tersebut serta identifikasi
apa yang harus dipenuhi oleh negara dan pemangku kewajiban yang lain. Hasil
pemetaan ini tentunya hanya akan efektif dapat dirumuskan dan diimlementasikan
dalam bentuk kebijakan apabila didukung oleh perangkat regulatif yang
berwibawa, tata kelola yang profesional serta kontrol publik yang kuat.
Secara singkat dapat
disampaikan usulan awal terhadap skema akselerasi penangan kawasan permukiman
kumuh sebagai berikut :
1. Pembentukan “ Desk Khusus “
yang bertugas :
- Mengkoordinasikan kebijakan lintas kementerian dan lembaga yang terkait dengan bidang / urusan perumahan.
- Menyiapkan kerangka regulatif, kelembagaan dan penganggaran yang mendukung akselerasi implementasi kebijakan.
- Menyiapkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis sebagai pedoman dan pemandu operasionalisasi di lapangan
- Menyiapkan lokasi Pilot Project yang akan dijadikan sasaran penanganan sebagai langkah awal yang akan direplikasikan dan diperluas jangkauan dan skalanya pada tahap-tahap selanjutnya.
2. Pemetaan Sasaran Penerima Manfaat yang menganalisis data tentang :
- Siapa menerima apa
- Dalam kondisi apa
- Kapan diberikan
- Dalam bentuk apa (barang publik atau privat, bansos atau subsidi)
3. Penyiapan konsep akselerasi
penanganan yang meliputi :
- Perekayasaan teknis
- Perekayasaan sosial ekonomis
0 komentar:
Posting Komentar